TRENDING TOPIC #PARIS ATTACK #USA vs RUSSIA #MOST VIDEO
Follow

atjehcyber thumbkanan

rental mobil di aceh, rental mobil aceh, jasa rental mobil aceh, sewa mobil di aceh, rental mobil banda aceh, sewa mobil di banda aceh

atjehcyber stick

Teungku Chik Di Tiro, Panglima Laskar Perang Sabil

Tuesday, April 12, 2011 18:30 WIB

Dibaca:   kali

atjehcyber, atjeh cyber, atjeh news, atjeh media, atjeh online, atjeh warrior, acehcyber, aceh cyber, aceh warrior, aceh cyber online, atjeh cyber warrior
“Dari kami, Teungku Chik Di Tiro, semoga diterima oleh Zwel Edgest. Asisten Residen, bertempat tinggal di Kutaraja di Negeri Aceh. Dahulu ketika kami berdiam di Mukim XXVI tahun yang lampau, kami ada berkirim surat kepada tuan mengenai perjanjian perdamaian. Dan pada waktu itu telah kami ajukan syarat-syaratnya sebagai berikut: Setelah tuan mengucapkan kalimat dua syahadat, memeluk agama Islam, barulah kita dapat mengadakan perjanjian perdamaian…”
Itulah sikap Tgk Chik Di Tiro dalam suratnya kepada Belanda pada tahun 1885. Surat yang sama kembali dikirimnya pada Mei 1888. HC Zentgraaff dalam buku Atjeh. Pemerintah kolonial melalui Gubernur Jenderal van Teijn menolak hal itu. “Kerajaan Belanda tidak melakukan perang agama,” balasnya.

Dalam buku The Dutch Colonial War in Aceh, edisi 2 terbitan The Documentation and Information Centre of Aceh (1990) disebutkan, surat Tgk Chik Di Tiro itu juga mendapat reaksi dari Menteri Jajahan Belanda, Ceuchenius. Melalui surat kabinet tanggal 15 Agustus 1888, surat X nomor 52, Ia meminta Van Teijn untuk menjawab surat tersebut.

Bagi Belanda Tgk Chik Di Tiro merupakan faktor paling penting dalam perang Aceh. Malah sebelumnya, yakni pada Maret 1882, Belanda mengeluarkan isntruksi yang sangat rahasia dari Gubernur Jenderal Belanda; memberikan hadiah kepada siapa pun yang sanggup menyerahkan para pemimpin Aceh hidup atau mati.

Salah satu dan yang paling utama disasar oleh Belanda adalah Tgk Chik Di Tiro. Belanda menyediakan imbalan 1.000 dolar. Teuku Umar yang kala itu menjalankan politik tipu Aceh dengan pura-pura menyerah pada Belanda juga mendapat surat dari Gubernur Belanda di Aceh untuk membunuh Tgk Chik Di Tiro.


Tgk Chik Di Tiro merupakan bernama asliMuhammad Saman. adalah putra dari Tengku Sjech Abdullah, anak Tgk Sjech Ubaidillah dari kampung Garot negeri Samaindra, Sigli. Ibunya bernama Siti Aisyah, putri dari Tgk Sjech Abdussalam Muda Tiroanak Leube Polem Tjot Rheum, kakak dari Tgk Chik Muhammad Amin Dajah Tjut. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat. Mulai mengobarkan perang kepada Belanda sejak tahun 1874 sampai ia meninggal pada 25 Januari 1891.

Dalam buku Marechaussee in Atjeh, H.J. Schmidt menyebutkan Tgk Chik Di Tiro mempunyai lima orang putra yaitu: Tgk Mat Amin (wafat 1896), Tgk Syeh Mayed (wafat 5 September 1910), Tgk Di Toengkob alias Tgk Beb (wafat 1899), Tgk Lambada (wafat 1904) Tgk Di Boeket alias Tgk Moehamad Ali Zainoel Abidin (wafat 21 Mei 1910) .

“Teungku Syekh Saman menjalani hidup sebagai muslim yang taat. Wibawa dan kekuasaannya melebihi para sultan.” Demikain tulis H C Zantgraaff dalam buku Atjeh.

Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Tgk Chik Di Tiro sanggup berkorban apas aja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikannya dalam kehidupan nyata. Tgk Chik Di Tiro menerima penunjukkan menjadi panglima perang oleh rakyat dan para ulama.

Masa Perjuangan

Zentgraaff menilai, para ulama di Tiro di bawah pimpinan Tgk Chik Di Tiro telah menghantam Belanda secara bertubi-tubi. Baik melalui perang sabil, maupun surat surat perjanjian damai yang mengharuskan Belanda memeluk agama Islam sebelum perjanjian ke arah perdamaian dilakukan.

Kekuasaan Tgk Chik Di Tiro yang melebihi sultan itu dinilai Zentgraaff karena titahnya didengar oleh seluruh rakyat Aceh. “Dia telah mengadakan perjalanan keliling Aceh dan mengajak setiap orang untuk ikut perang sabil. Bagi yang tidak mampu memegang senjata diwajibkan memberikan sumbangan. Para petugas akan memungut ‘uang sabil’ dengan mendapat kuasa dan cap jari dia (Tgk Chik Di Tiro-red),” tulis Zentgraaff.

Seruan yang berisi ajakan Perang Sabil ini diperkuat lagi dengan Hikayat Perang Sabil. Idiologi Perang Sabii ini muncul sejak abad XVII dihidupkan kembali melalui Hikayat Perang Sabil pada pertengahan kedua abad XIX ketika negeri ini dilanda serangan kaum kafir sehingga banyak rakyat umum tertarik kepada gerakan Perang sabil yang didengungkan oleh Tgk Chik Di Tiro.

Seruan Perang Sabil yang dikumandangkan oleh Tgk Chik Di Tiro mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan, baik kaum ulama maupun panglima. Dengan adanya bantuan tersebut, Tgk Chik Di Tiro semakin kuat dan siap menghadapi Belanda. Hasil usaha menghimpun kekuatan tidak lah sia-sia. Ulama ini berhasil menghimpun kekuatan sebanyak 6000 orang pasukan (sofyan, 1990: 36).

Gerakan angkatan Perang Sabil Tgk Chik Di Tiro mulai menampakkan pengaruhnya. Pemerintah Hindia Belanda di Aceh pun mulai mendengar gerakan perang ini. Namun mereka belum tahu siapa sebenarnya Tgk Chik Di Tiro. Gubernur Van der Heyden menyebut keadaan Aceh dalam sebuah laporannya sebagai berikut "Suasana Aceh sekarang seperti api dalam sekam ...." (Sofyan, 1990 : 49).

Setelah persiapan dirasa cukup, maka segera diambil langkah pertama yaitu memutuskan hubungan antar benteng Belanda Pasukan Perang Sabil memotong kawat telepon antar benteng agar mereka tidak dapat saling berhubungan. Sebagai markas besar, Tgk Chik Di Tiro membangun sebuah benteng yang kuat di Mureu. Lokasi benteng ini mempunyai letak yang sangat strategis yaitu terletak di tepi Krueng Inong.

Kemudian, serangan terbuka dilaksanakan dengan menyerang kedudukan bentengbenteng Belanda di Krueng Jreu, Gle Kameng, dan Indrapuri. Ketiga benteng tersebut diserang habis-habisan oleh pasukan Perang Sabil. Akhirnya ketiga benteng tersebut dapat direbut oleh pasukan Perang Sabil pada tahun 1881. Belanda dapat dipukul mundur dari ketiga benteng tersebut dan akhirnya memperkuat benteng-benteng di Lambaro, Aneuk Galong, dan Samahani.

Pada Maret 1883, Laging Tobias diangkat menjadi Gubernur Sipil Aceh yang kedua. Ia mengakui Tgk Chik Di Tiro dengan pasukannya merupakan pasukan tanggung dengan taktik gerilya yang sangat menyulitkan Belanda.

Tgk Chik Di Tiro yang disokong oleh rakyat mempunyai mobilitas tinggi. Sewaktu-waktu dapat muncul tiba-tiba di Mukim XXII, kemudian menampakkan dirinya pula di Mukim XXV. Pada Agustus 1883 sekitar 500 pejuang dari pantai utara Aceh bergabung dengan pasukan Tgk Chik Di Tiro, mereka melakukan serangan-serangan dadakan terhadap Belanda.

Selama kurun waktu 1882-1883 terjadi pertempuran yang dahsyat antara kedua pihak. Pasukan Tgk Chik Di Tiro mengalami banyak kemajuan. Beberapa benteng dapat direbutnya dari Belanda seperti benteng di Krueng Raja dan Kadjhu. Karena kuatnya tekanan pasukan Tgk Chik Di Tiro, maka akhirnya Belanda pun menarik diri dari salah satu benteng terkuatnya selama ini di Aneuk Galong dan mundur ke Lambaro danKeutapang dua. Untuk mempertahankan diri Belanda membuat garis konsentrasi yang terbentang dari Kuta Pohama ke Keutapang Dua. Tgk Chik Di Tiro berusaha merebutnya dari arah laut ,tetapi belum berhasil.

Pada Juli 1884 diperkuat lagi dengan 250 pasukan dari berbagai daerah, mereka dipusatkan di Mukim XXVI. Serangan-serangan terhadap Belanda pun terus dilakukan. Sebulan sebelumnya, 16 dan 17 Juni 1884, Belanda kemudian melakukan sidang rahasia Staten Generaal. Hasilnya, untuk menghadapi pejuang Aceh Belanda kembali menerapkan sistim pertahanan lini.

Dalam Colonial Verslag 1885, Belanda mengakui bahwa perlawanan terhadap Belanda terus meningkat, sementara kekuasaan Belanda semakin surut karena banyak pasukan yang tewas. Dampak lainnya, keuangan Belanda pun bertambah parah. Sampai akhir tahun 1884, anggaran belanja perang Belanda di Aceh naik menjadi 150 juta florin.

Selama Gubernur Van Teijn berkuasa Belanda mempergunakan strategi "Wait and See" yaitu menunggu sampai keadaan berubah. Kenyataannya strategi yang diterapkan Belanda ini hasilnya jauh dari yang diharapkan. Belanda sering terpukul mundur pada banyak pertempuran. Akhirnya, untuk mengimbangi pasukan Aceh, Belanda membentuk satu korps tentara baru yang disebut Korps Marsose di bawah pimpinan J. Notten padatanggal 2 April 1890.

Walaupun Belanda membentuk korps Marsose Tgk Chik Di Tiro terus bertempur melawan Belanda tidak kurang dahsyatnya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Semangat pasukan pun tidak pernah pupus menghadapi Belanda. Selama tahun 1890 Tgk Muhammad Amin putera Tgk Chik Di Tiro yang tertua sudah ikut memimpin pasukan. Beberapa kali ia mendapat luka dan terpaksa diangkut ke Aneuk Galong.

Kobaran semangat perang juga digelorakan dengan gubahan hikayat Prang Sabi. Di antara para penggubah hikayat heroic itu adalah: Syaikh Abdul al-Samad al-Falimbany, Tgk Chik Di Tiro, Syaikh Abbas Ibnu Muhammad alias Tgk Chik Kutakarang, Tgk Ahmad Ibnu Mahmud, Tgk Pante Kulu, Abdul Karim alias Dokarim.

Akhir Perjuangannya

Untuk mengendus keluarga Tgk Chik Di Tiro, Belanda mengutus Kapten H J Schidt, seorang opsir yang mahir berbahasa Aceh. Ia memimpin rencana pembunuhan keluargaTgk Chik Di Tiro.

Berbagai usaha dilakukan Belanda untuk membunuh keluarga Tgk Chik Di Tiro. Selain lewat perang juga melalui imbalan 1.000 dolar bagi siapa saja yang dapat menawan Tgk Chik Di Tiro hidup atau mati. Peranglah yang kemudian membuat para keluarga Tiro tersebut tewas.

H C Zantgraaff dalam buku Atjeh menulis. Pada Januari 1891, ketika Tgk Chik Di Tiromerasakan akhir hayatnya sudah dekat. Ia memanggil putra tertuanya Mat Amin. Kepadanya diberikan ansehat yang tegas untuk melanjutkan perang melawan Belanda.“Secara jujur harus dicatat mereka tewas sebagai pahlawan,” aku Zentgraaff.

Jiiwa Perang Sabil terdapat pada Tgk Chik Di Tiro, maka Belanda berusaha membunuh ulama ini. Belanda kembali mempergunakan siasat adu domba dimana salah seorang bangsawan yang berambisi menjadi panglima sagi diperalat untuk membunuh ulama tersebut.

Tgk Chik Di Tiro diundang ke Tui Seilemeung dan di dalam benteng itu ulama ini diberi makanan beracun. Tgk Chik Di Tiro kemudian jatuh sakit. Pada tanggal 25 Januari 1891 ulama ini wafat di Aneuk Galong. Perjuangannya diteruskan olehanak-anaknya yang lain. Dapat dikatakan tidak satupun diantara anak-anaknya yang tidak terlibat di dalam perang melawan Belanda.

Setelah Tgk Chik Di Tiro tewas pada2 5 Januari 1891. Tgk Mat Amin melanjutkan perjuangan. Ia memimpin pertahanan di Aneuk Galoeng, yang ditinggalkan Teuku Umar yang menlankan politik tipu Aceh dengan pura-pura menyerah pada Belanda tahun 1896.

Belanda yang berulang kali menyerang benteng Aneuk Galoeng tidak berhasil merebutnya. “Benar-benar suatu masa yang gila. Setelah masa kesimpang siuaran yang besar itu, di mana kita kadang-kadang harus bertempur mati-matian, untuk merebut kembali apa yang kita lepaskan dengan suka rela,” tulis Zentgraaff.

Tgk Mat Amin bersama Tgk Di Buket dan ratusan pasukannya mempertahankan benteng tersebut. Belanda kemudian membentuk korps marechaussee sebagai korp tentara pilihan untuk memerangi Aceh.

Pada tahun 1896, dibawah komando Graaflannd, benteng Aneuk Galoeng dikepung. Kapten Van Daalen sebagai kepala staff ikut dalam perang tersebut. “Orang Aceh bertarung bagai singa, mereka memilih roboh dalam nyala api yang membakar benteng dari pada menyerah ke pihak kita,” lanjut Zentgraaff.

Tgk Mat Amin tewas dalam pertempuran tersebut. Mayatnya dilarikan oleh pejuang Aceh ke Meureu, Indrapuri dan dikuburkan didekat makam ayahnya, Tgk Chik Di Tiro. Sementara putra Tgk Chik Di Tiro lainnya, Tgk Lambada tewas oleh darling di dekatAlue Keune.

Pengikut dan keluarga Tgk Chik Di Tiro lainnya yang diburu oleh Belanda waktu itu adalah: Tgk Teupin Wan, Tgk Hasyim, Tgk Geudong, Tgk Raja Nanta, Tgk Di Buket, Tgk Mayed, dan beberapa panglima perang lainnya. “Mereka adalah para penglima perang di belantara ulama-ulama Tiro yang memiliki pasukan yang terlatih dengan baik,” tulis Zentgraaff.

Kebesaran dan pengaruh keluarga ini dapat digambarkan seperti yang dikatakan oleh Zentgraaf (1982) sebagai berikut.
Tak ada satu keluarga Aceh pun yang waktu itu, yang begitu besar dalam Perang Aceh, selain keluarga ulama Tiro, dan tidak pula ada keluarga Aceh lainnya, yang meneruskan Perjuangan sampai kepada titik darah penghabisan, selain keluarga itu. Keluarga inilah dalam peperangan itu, merupakan sasaran operasi penyerangan bala tentara kita, yang merupakan bahagian yang paling mengesankan dalam sejarah perang Aceh dan dapat menjadi sumber cerita-cerita kepahlawanan".

*** Tamat ***

||||||||||||||||||||||||||||||||| FACEBOOK COMMENTS |||||||||||||||||||||||||||||||||

KOMENTAR
DISCLAIMER: Komentar yang tampil menjadi tanggungjawab sepenuhnya pengirim, bukan merupakan pendapat atau kebijakan redaksi ATJEHCYBER. Redaksi berhak menghapuskan dan atau menutup akses bagi pengirim komentar yang dianggap tidak etis, berisi fitnah, atau diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan.
Artikel Pilihan Pembaca :

mobile=show

Copyright © 2015 ATJEHCYBER — All Rights Reserved