TRENDING TOPIC #PARIS ATTACK #USA vs RUSSIA #MOST VIDEO
Follow

atjehcyber thumbkanan

rental mobil di aceh, rental mobil aceh, jasa rental mobil aceh, sewa mobil di aceh, rental mobil banda aceh, sewa mobil di banda aceh

atjehcyber stick

Melawan Orang Aceh

Sunday, May 15, 2011 21:12 WIB

Dibaca:   kali

atjehcyber, atjeh cyber, atjeh news, atjeh media, atjeh online, atjeh warrior, acehcyber, aceh cyber, aceh warrior, aceh cyber online, atjeh cyber warrior
Oleh Mariska Lubis

“...Untuk apa melawan orang Aceh? Jika memang ingin melumpuhkan mereka, tak perlu dilawan. Semakin dilawan semakin kalah kita. Biarkan mereka melawan diri mereka sendiri. Hanya dengan cara itu, mereka bisa ditaklukkan...”

Begitulah kira-kira petuah yang saya tangkap dari buku Snouck Hurgronje. Sama juga seperti kebanyakan orang Sumatera lainnya. Orang Padang misalnya, saya mendapat nasehat untuk tidak pernah bernegosiasi dengan orang Padang. Biarkan mereka bernegosiasi sendiri, agar bisa mendapatkan yang kita inginkan. Semakin kuat kita bernegosiasi, semakin mahal kita akan membayar. Lain padang lain belalalang namun belalang dan ilalang tetap berkerumun dalam rumpunan.

Bila ingin melumpuhkan orang Batak, jangan lawan anaknya, tetapi buatlah mamak mereka “kenyang”. Semakin dilawan, semakin keras mereka melawan. Lebih baik, beritahu mamak mereka sebelum mereka mengadu atau diadukan yang lain. Biarkan mamak mereka yang memukul anak mereka sendiri. Jika diperhatikan sekilas memang menjadi lucu tetapi jika dipikirkan baik-baik menjadi sangatlah menarik.

Memang pada dasarnya, manusia paling susah untuk melawan diri sendiri. Jika mampu melakukannya, maka akan lebih mudah mengendalikannya. Siapa yang lebih tahu tentang diri sendiri selain diri sendiri juga?! Setiap kelebihan pasti ada kekurangan karena di sanalah keseimbangan itu terjadi. Tidak masalah apa yang menjadi kelebihan atau kekurangannya, namun bagaimana caranya membuat kelebihan itu dimanfaatkan menjadi senjata yang paling ampuh untuk melawan diri sendiri.

Bagaimana juga agar kekurangan itu dijadikan sebagai sesuatu yang dilebih-lebihkan hingga menjadi sebuah keyakinan dan mampu mengalahkan kelebihan itu sendiri. Tentunya dengan demikian, keseimbangan itu menjadi tidak ada. Pasti akan timpang. Rata-rata orang Sumatera, menurut saya, memiliki kelebihan di dalam bermain kata. Oleh karena itulah, biarkan kata menjadi senjata untuk melawannya. Kata-kata mereka sendirilah yang digunakan, jangan kata yang lain. Di sisi lain, orang Sumatera memiliki kekurangan di dalam hal harga diri. Angkat lambung tinggi saja harga diri mereka hingga tak mampu lagi untuk menahannya agar jatuh sendiri kemudian. Begitu, kan?!

Seperti permainan injak batu yang menurut cerita sahabat saya, adalah sebuah permainan anak-anak Aceh pada masa dia masih kecil. Di mana batu itu diandaikan sebagai kepala ayah mereka sendiri. Setiap individu atau kelompok akan tetap berdamai selama batu itu tidak ada yang menginjak. Cukup ada satu orang atau satu kelompok lain yang memprovokasi keduanya hingga batu itu diinjak. Perang pun pasti akan pecah. Nyali dilawan oleh nyali, siapa yang paling bernyali?! Hebat, ya?!

Logikanya, segala sesuatu yang benar dan salah bisa menjadi benar atau salah tergantung kepada persepsi dan kepentingan masing-masing. Jarang sekali ada yang mau mengakui yang sebenarnya meski tahu salah sekalipun sehingga yang lebih sering muncul adalah pembenaran. Semakin salah, semakin kuatlah dia membela diri dengan pembenarannya. Sementara yang “benar” juga tak mau berhenti bersikeras untuk mendapatkan pengakuan. Paling serunya lagi, selalu saja ada yang muncul menjadi “pejuang” dan “pahlawan” baik untuk membela “yang benar” ataupun membela “kebenaran”. “Mi meubajee asee meusiluweu tapeuek lam juree jisipak teulam pageu” – orang bisa bertopeng kebajikan padahal sebenarnya adalah penjahat.

Pemain semakin banyak dan apa yang benar dan salah semakin abu-abu dan bahkan sudah tidak lagi menjadi inti persoalan. Hasrat dan ambisi dengan menggunakan dalil realitas dan logika pun sudah mengalahkan rasionalitas. Pada fakta dan kenyataannya, mana yang dianggap realitas dan logis pun sangat tergantung kepada pola pikir dan cara pandang masing-masing sehingga faktor tidak logis dan tidak “real” pun diabaikan. Bisa dimaklumi karena di peradaban sekarang ini, orang pintar harus selalu realistis, logis, dan rasional. Mana ada juga orang mau dibilang bodoh atau menjadi bodoh. Berlombalah semua untuk bisa menjadi pintar hanya untuk memuaskan diri. Apa yang menjadi realistis, logis, dan rasional itu hanya sesuai dengan apa yang diinginkan saja, bukan dari yang sebenarnya.

Biar bagaimanapun juga, pakiban ue meunan minyeuk – minyak kelapa sangat ditentukan oleh kualitas kelapanya. Keberanian itu bisa muncul tanpa terkendali saat seseorang sudah tidak bisa lagi melihat dan mendengar serta merasakan. Apa yang diyakininya adalah apa yang dilihat dan didengarnya saja meski merasa itulah yang dirasakan. Terutama lagi bila sudah menyangkut kesalahan karena pada umumnya, justru mereka yang paling pengecutlah yang biasanya tampil seolah-olah paling berani. Mereka yang paling tidak percaya dirilah yang paling memiliki ambisi untuk menguasai dan mendominasi. Ini hanya masalah psikologis saja, di mana memang manusia memiliki kecenderungan untuk menutupi segala kekurangannya dengan melakukan kebalikan dari apa yang sebenarnya. Hanya sedikit sekali yang memiliki nyali untuk berani jujur.

Jarang sekali yang memiliki jiwa besar untuk berani mengakuinya. Bahkan di dalam Ta’bi juga diajarkan bahwa orang yang terlihat telanjang di dalam mimpi harus bersiap menghadapi nasib sial. Maka dari itu, tidaklah mudah menelanjangi diri. Nanti, Kullu nafsin geubeuet bak ulèe, nyan barô tathèe tatinggai dônyakalau sudah di penghujung hayat baru sadar akan meninggalkan dunia. Jika sudah demikian, siapa yang bermain dan siapa yang dipermainkan sudah menjadi sebuah benang kusut yang tak jelas ujung pangkalnya. Siapa juga yang berkuasa, menjadi penguasa, dan menguasai?! Siapa yang sebenarnya paling beruntung meraup keberuntungan?! Di dalam setiap permainan belum tentu harus ada yang menang atau kalah, tetapi di dalam permainan bisa dibuat banyak lagi permainan lainnya.

Pintar-pintarnyalah mereka yang membuat permainan. Toh, papan, bidak, dan pemainnya sudah tersedia semua. Tinggal menonton saja dan menikmati hasilnya. Tong kosong selalu paling nyaring bunyinya. Lempar batu pun bisa sembunyi tangan. Udang saja bisa bersembunyi di balik batu. Anjing menggonggong kafilah berlalu?! Tidaklah!!! Yang ada kafilah kembali dan membawa banyak anjing lainnya dengan gonggongan yang lebih keras lagi. Bagaimana mau berakit-rakit ke hulu, sebelum merakit sudah bersenang-senang dahulu. Berenang hanya di permukaan, arus pun dilawan. Kapan kapal tiba di tujuan, kapten?!

Tulisan ini sebenarnya hanya merupakan ungkapan dari buah pikir saya saja setelah membaca buku “Aceh Di Mata Kolonialis” karnya Snouck Hurgronje dan membandingkannya dengan apa yang terjadi selama ini di Aceh. Perdamaian di Aceh tidak akan pernah terjadi dan hanya merupakan untaian kata penuh janji dan harapan di atas kertas saja selama yang melawan dan dilawan adalah diri sendiri. Pemikiran saya ini bisa benar bisa juga salah karena yang tahu sebenarnya hanya orang Aceh sendiri.

Pertanyaan saya, siapakah orang Aceh yang mengetahui sebenarnya?! Tentunya hanya orang Aceh “asli” dan sesungguhnyalah yang tahu dan memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Ini pun jika memang ada keinginan untuk tidak lagi ditaklukkan dan dikuasai. Siapapun orangnya, dialah yang menentukan nasib dan masa depan Aceh. Orang Aceh memang tidak perlu dilawan. Orang Aceh tidak perlu juga untuk ditaklukkan. Orang Aceh bisa melawan dan menaklukkan diri sendiri untuk bisa menjadi penguasa atas diri sendiri seperti yang memang diinginkan. Benarkah?!

Semoga saja semua menyadari bahwa kemarahan tidak akan pernah bisa membuat siapapun bisa berpikir benar, sehat, dan objektif. Marah tidak akan pernah bisa membuat semua terbangun, tegak berdiri kembali, dan benar-benar bisa bersujud.

****

Mariska Lubis, The Aceh Institute


KOMENTAR
DISCLAIMER: Komentar yang tampil menjadi tanggungjawab sepenuhnya pengirim, bukan merupakan pendapat atau kebijakan redaksi ATJEHCYBER. Redaksi berhak menghapuskan dan atau menutup akses bagi pengirim komentar yang dianggap tidak etis, berisi fitnah, atau diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan.
Artikel Pilihan Pembaca :

mobile=show

Copyright © 2015 ATJEHCYBER — All Rights Reserved