TRENDING TOPIC #PARIS ATTACK #USA vs RUSSIA #MOST VIDEO
Follow

atjehcyber thumbkanan

rental mobil di aceh, rental mobil aceh, jasa rental mobil aceh, sewa mobil di aceh, rental mobil banda aceh, sewa mobil di banda aceh

atjehcyber stick

Teungku Chik Muhammad Johan Alamsyah, Ampon Chik Peusangan

Thursday, June 09, 2011 20:11 WIB

Dibaca:   kali

atjehcyber, atjeh cyber, atjeh news, atjeh media, atjeh online, atjeh warrior, acehcyber, aceh cyber, aceh warrior, aceh cyber online, atjeh cyber warrior
Dalam masa berkecamuknya  perang antara Kerajaan Aceh melawan Belanda (1873-1942), lahirlah seorang bayi sehat dan rupawan.  Bayi ini dilahirkan pada tanggal 25 Juni 1890 di desa Pulo Iboh, di tepi kota Matang Glumpang Dua.
Ibunya, Potjut Unggaih, seorang putri bangsawan, putri uleebalang Meureudu. Ayahnya, Teuku Tjhik Sjamaun, uleebalang Nanggroe Peusangan. Dua sejoli itu memberi nama anaknya, Teuku Muhammad  Djohan Alamsjah. Kemudian setelah memegang jabatan uleebalang dan menunaikan ibadah haji, cucu Teuku Tjhik Muhammad Hasan itu diberi nama, Teuku  Hadji Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah Perkasa Alam. Dalam perjalanan sejarah Aceh abad ke XX, Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah tampil sebagai salah seorang uleebalang Aceh terkemuka. Teuku Muhammad Djohan Alamsjah merupakan turunan generasi ke-IX pengungsi imperium Abbasiyah yang terdampar di Bandar Aceh pada abad ke-13 itu.

Teuku Tjhik Sjamaun. Isteri pertamanya, Potjut Salbiah pribumi Nanggroe Peusangan, melahirkan dua orang anak. Anak pertamanya seorang putri diberi nama Potjut Zahara, karena kecantikannya rakyat Peusangan memberi nama  panggilan untuknya  Potjut Buluen. Anak kedua seorang putra diberi nama Teuku Ali Alamsjah. Rakyat nanggroe Peusangan menggelari Teuku Ali Alamsjah dengan nama Panglima Perang  (Ampon Prang), karena beliau juga memimpin pasukan Nanggroe Peusangan dalam peperangan melawan tentara Belanda.

Isteri Teuku Tjhik Sjamaun, Potjut Unggaih, melahirkan 3 orang anak. Mereka terdiri dari 2 orang putra dan seorang putri. Anak pertama Teuku Tjhik Sjamaun dari putri Uleebalang Meureudu ini adalah Potjut Sjaribanun, seorang putri. Rakyat Nanggroe Peusangan menyebut Potjut Sjaribanun dengan nama kesayangan Potjut Putroue, karena sikapnya yang agung dalam kehidupan sehari-hari dengan rakyatnya. Anak kedua adalah seorang putra, Teuku Muhammad Djohan Alamsjah, seorang pemuda yang kelak tampil menjadi “Uleebalang terkemuka” di Aceh.  Dan yang ketiga juga seorang putra,  Teuku Bustaman.

Pulo Iboh, tempat kelahiran dan tempat Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dibesarkan, adalah juga tempat kediaman resmi uleebalang Peusangan. Pulo Iboh juga disebut kuta uleebalang (istana) Nanggroe  Peusangan. Desa Iboh juga memegang kunci penting dalam sejarah revolusi sosial Aceh tahun 1945-1946.

Menyangkut Iboh ada cerita lainnya. Dari desa inilah orangtua Teungku Amir Husin Al Mujahid berasal. Ketika perang Aceh dengan Belanda sedang mencapai puncaknya dipantai utara Aceh, keluarga orangtua Husin al Mujahid mengungsi ke Nanggroe Idi, yang telah menjadi sahabat kerajaan Belanda jauh hari sebelum Perang Aceh–Belanda dimulai. Orang Aceh memberi gelar yang agung untuk Amir Husin al Mujahid, Napoleon Bonaparte Aceh, karena keberhasilannya meruntuhkan dan membantai seluruh uleebalang Aceh hanya dalam waktu beberapa hari saja. Meskipun tanpa pernah bertempur, guru sekolah Dasar  madrasah di Idi - Aceh Timur ini, dapat mengecoh Residen Aceh/ Jenderal Mayor TKR/TNI Teuku Njak Arief dan menggiringnya ke kamp tahanan di Takengon. Napoleon Bonaparte Aceh dengan  lasykarnya TPR (tentara perjuangan rakyat) dengan ganas membantai seluruh Uleebalang Aceh beserta pengikutnya.

Kemudian Amir Husin al Mujahid mengangkat dirinya sendiri menjadi Jenderal Mayor, anehnya ketika dia berpangkat Jenderal Mayor tentaranya lenyap bersama asap revolusi sosial Aceh. Kawan-kawannya sesama orang PUSA menyebutnya filsuf besar Aceh. Keberhasilan Teungku Amir menggusur Teuku Njak Arief,  Residen- penguasa Negara Republik Indonesia yang baru merdeka di Aceh, mengantarkan seorang guru Madrasah Jamiatul Diniah Abadiyah di Blang Paseh-Sigli yang bernama Teungku Muhammad Daud Beureueh ke takhta Diktator Aceh yang baru.

Sambil berkacak pinggang, dengan tangan kiri dia menuding kemuka Teuku Tjhik Daudsjah -Pejabat Residen Aceh. Uleebalang Idi yang bunglon itu diperintahkannya untuk mengangkat pemilik kios obat Pidie yang bernama, Teuku Muhammad Amin, menjadi Asisten Residen Aceh Bidang Politik. Terpukau oleh kebengisan PUSA,  dalam sekejap Teuku Tjhik Peusangan yang selama ini “dimuliakan rakyatnya”,  berubah menjadi target tangkapan Teuku Muhammad Amin pada bulan Maret 1946.
Beliau bersama Sang Ibu
Dalam masa pertempuran dengan Belanda di Nanggroe Peusangan, Teuku Tjhik Sjamaun mengundurkan diri ke daerah hulu sungai Peusangan yang penuh hutan rimba. Dalam pengungsiannya ini Teuku Tjhik Sjamaun mengatur strategi melawan serangan dan invasi pasukan Jenderal van Heutz. Uleebalang ini telah bersumpah, tidak akan pernah berjumpa dengan kafir Belanda. Setelah bergerilya selama 2 tahun, Teuku Tjhik Sjamaun jatuh sakit dan wafat ditengah hutan rimba Peusangan. Maka, terwujudlah sumpahnya untuk tidak berjumpa kafir Belanda.  Teuku Tjhik Sjamaun yang patrotik itu di makamkan di markas komandonya di tengah hutan rimba Peusangan.

Pemakaman uleebalang yang patriotik ini mendapat penghormatan yang megah dari pasukan dan pengikutnya yang setia. Sayang makam yang bersejarah ini kemudian hari dipindahkan. Setelah keadaan di Peusangan menjadi damai, jenazah Teuku Tjhik Sjamaun di makamkan kembali di Matang Glumpang Dua,  oleh putranya Teuku Tjhik Muhammad  Djohan Alamsjah.

Ketika Teuku Tjhik Sjamaun sedang bergerilya di rimba Peusangan, Sultan Aceh Tuwanku Muhamad Daudsjah berkunjung ke  Matang Glumpang Dua, ibu kota Nanggroe Peusangan. Sultan Aceh itu bermaksud mengukuhkan kembali Teuku Tjhik Sjamaun sebagai uleebalang Peusangan dengan gelar kedudukannya Teuku Keujruen.

Sultan Aceh  menunggu kedatangan Teuku Tjhik Sjamaun beberapa hari di Matang Glumpang Dua, tetapi uleebalang Peusangan itu tak kunjung tiba. Seorang utusan Teuku Tjhik Sjamaun mengabarkan kepada Sultan Aceh, bahwa uleebalang itu sedang  sakit berat di tengah rimba di hulu sungai Peusangan. Tanpa membuang waktu, sebagai gantinya Sultan Aceh mengukuhkan putranya,  Teuku Muhammad Djohan Alamsjah sebagai uleebalang Nanggroe Peusangan. Pengangkatan itu dimuat di atas surat resmi Keputusan Kerajaan Aceh. Surat pengangkatan yang disebut “Surat Tjap  Sikureung” itu diserahkan langsung kepada Teuku Muhammad Djohan Alamsjah. Padahal, pada saat pengangkatannya, uleebalang muda itu baru berumur 10 tahun.

Usai pelantikan itu, sambil menghindari incaran Jenderal van Heutz terhadapnya, Sultan Aceh bergegas melanjutkan perjalanan-kerjanya ke wilayah Pasai, untuk menyusun kembali markas komandonya. Sunguh ironis, perjuangan Teuku Tjhik Sjamaun melawan penjajah Belanda kandas dalam waktu singkat. Beberapa bulan setelah Teuku Tjhik Sjamaun wafat, paman Teuku Tjhik Djohan Alamsjah  yang tertua yang bernama Teuku Maharadja Djeumpa melapor diri (mel) kepada Belanda minta berdamai.

Bagaikan mendapatkan durian runtuh, Jenderal van Heutz langsung menyambut uluran tangan Teuku Djeumpa itu. Utusan Belanda datang ke Pulo Iboh menemui Potjut Unggaih. Belanda membujuk permaisuri uleebalang Peusangan itu untuk mengizinkan putranya dibawa ke Kutaradja untuk disekolahkan. Belanda bermaksud mendidik uleebalang muda itu menurut kepentingannya,  disekolah model Belanda. Dengan tegas permintaan Belanda itu ditolaknya, karena Potjut Unggaih tidak ingin putranya menjadi  orang kafir. Berulang kali utusan Belanda datang bersama dengan Teuku Djeumpa, membujuk Potjut Unggaih.

Setelah bermusyawarah dengan seluruh handai taulannya, Potjut Unggaih dengan berat hati mengijinkan  putranya dibawa Belanda ke Kutaraja, pusat kekuasaan Belanda di Aceh. Ibunda Teuku Djohan Alamsjah itu mengajukan syarat. Putranya boleh dibawa, tetapi harus disertai oleh seorang temannya yang juga harus disekolahkannya. Tentu saja Belanda  dengan penuh suka cita menyambut berita kemenangannya ini. Tanpa perlu berlumuran darah lagi, Nanggroe Peusangan telah menjadi sahabat Kerajaan Belanda.

Sahabat adalah kata berukiran indah yang disamarkan pihak Belanda, sebagai kata ganti takluknya orang Aceh. Enak didengar bangsa Belanda,  tetapi pahit dirasakan bangsa Aceh.  Akhirnya berangkatlah Teuku Muhammad Djohan Alamsjah ke Kutaraja dengan seorang pengawal dan seorang teman yang bernama: Abdul Karim. Kelak dikemudian hari, salah seorang putra Abdul Karim ini yang bernama Drs Adnan, pegawai pemerintah Kota Medan, hingga bulan Oktober 2006 dengan setia masih menjaga Potjut Maimunah, salah seorang putri Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah yang sudah sangat sepuh dirumahnya di Jalan Sei Belutu Gang Keluarga No. 55i,  Medan. Untaian tali kesetiaan anak manusiapun terputuskan. Dan ajal pun datang menjemput putri bangsawan Aceh yang agung itu pada tanggal 5 November 2006 jam 16.45 di Bandung.

Selama 3 tahun Teuku Muhammad Djohan Alamsjah bersama Abdul Karim belajar di sekolah Rakyat Guru Djam di Kutaradja. Sang Guru, Muhammad Djam, orang Minangkabau yang sangat profesional dibidangnya. Secara privat kedua anak muda Aceh itu dididik dan diajarinya dengan sabar. Mata pelajaran dasar yang diajarkan terutama matematika, membaca dan menulis huruf Latin, bahasa Melayu, etiket pergaulan masyarakat Belanda, ilmu sejarah dan politik Hindia Belanda.

Kedua anak muda Aceh itu menyambut kesungguhan gurunya. Keduanya belajar dengan giat dan mengambil alih seluruh pengetahuan yang diperolehnya. Gubernur Belanda di Aceh, Jenderal van Heutz sangat puas terhadap kinerja Guru Djam. Untuk mengenang jasa-jasa Guru Muhammad Djam dalam bidang pendidikan, pemerintahan Hindia Belanda di Aceh kemudian hari menamai jalan dimuka sekolah itu, jalan Guru Muhammad Djam.
Teuku Chik Peusangan Bersama Keluarga
Setelah menjalani masa pendidikan yang dikehendaki Belanda, Teuku Muhammad Djohan Alamsjah serta kawan dan pengawalnya yang setia diantar kembali ke Nanggroe Peusangan. Jenderal van Heutz menganggap uleebalang muda Aceh ini sudah cukup berhasil dijinakkannya. Kepada Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dipercayakan kembali jabatan uleebalang Peusangan yang dipangkunya sesuai sarakata Sultan Aceh. Dalam pelaksanaan tugasnya uleebalang muda ini dibimbing oleh pamannya, Teuku Djeumpa. Pada hakekatnya pamannya inilah yang bertindak selaku uleebalang Nanggroe Peusangan.

Teuku Djeumpa dengan cermat mulai memutar roda pemerintahan Nanggroe Peusangan sepeninggal Teuku Tjhik Sjamaun. Kepada kemenakannya, Teuku Tjhik M. Djohan Alamsjah, dijelaskannya posisi Peusangan dalam peta politik terbaru tanah Aceh. Walaupun dikemas dalam untaian kata-kata yang indah, bahwa Kerajaan Belanda bersahabat dengan Nanggroe Peusangan melalui Korte Verklaaring, tak berarti Nanggroe Peusangan masih berkedaulatan penuh seperti yang tercantum dalam surat sarakata Cap Sikureung Sultan Aceh. Secara militer, Nanggroe Peusangan sudah terkalahkan oleh Kerajaan Belanda. Teuku Djeumpa juga menjelaskan kepada Teuku Djohan Alamsjah,  kekalahan nanggroe–nanggroe uleebalang lain di tanah Aceh hanya tinggal menunggu waktu saja. Perlawanan secara terbuka terhadap Belanda akan  mengorbankan seluruh rakyat Peusangan baik harta maupu nyawa, dan cara ini harus dihindari.

Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah yang masih belia itu, duduk terpukau merenungkan posisi Negara Aceh yang lemah berhadapan dengan Belanda. Uleebalang muda bersama pamannya yang bijak itu berkesimpulan, tak ada jalan lain menghabisi Belanda kecuali melalui pendekatan diplomatis. Maka, uleebalang muda itu bertekad akan menghabisi Belanda dengan ilmu Belanda itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah Aceh tercatat, Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah terkenal selalu bersikap lemah-lembut dan lugas terhadap siapapun, baik terhadap Belanda sebagai musuh maupun terhadap rakyat Peusangan yang dibelanya.

Hingga akhir hayatnya, rakyat Peusangan menganggap Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah sebagai bapaknya, tempatnya berlindung. Sebaliknya Belanda, sebagai musuhnya, menganggap uleebalang Peusangan ini sebagai sahabatnya.  Sebagai uleebalang di dalam surat “Cap Sikureung” ditegaskan bahwa Teuku Muhammad Djohan Alamsjah dengan pangkat Kejreuen berhak mengambil hasil dari laut, darat, dan hutan di wilayah Nanggroe Peusangan. Laut lepas pantai Nanggroe Peusangan sungguh kaya dengan kandungan berbagai jenis ikan. Nelayan Nanggroe Peusangan sangat senang bila saat melaut tiba. Hasil tangkapan ikan melimpah ruah. Sebagai tanda penghormatan kepada uleebalangnya, oleh nelayan itu dipilihnya beberapa kepala ikan yang terbesar. Dan kepala ikan pilihan ini dipersembahkan  kepada uleebalangnya, Teuku Tjhik Muhammad Djohan Alamsjah. Persembahan nelayan ini menjadi kenangan manis yang abadi bagi keluarga besar uleebalang Peusangan terhadap rakyatnya hingga kini.

KOMENTAR
DISCLAIMER: Komentar yang tampil menjadi tanggungjawab sepenuhnya pengirim, bukan merupakan pendapat atau kebijakan redaksi ATJEHCYBER. Redaksi berhak menghapuskan dan atau menutup akses bagi pengirim komentar yang dianggap tidak etis, berisi fitnah, atau diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan.
Artikel Pilihan Pembaca :

mobile=show

Copyright © 2015 ATJEHCYBER — All Rights Reserved