TRENDING TOPIC #PARIS ATTACK #USA vs RUSSIA #MOST VIDEO
Follow

atjehcyber thumbkanan

rental mobil di aceh, rental mobil aceh, jasa rental mobil aceh, sewa mobil di aceh, rental mobil banda aceh, sewa mobil di banda aceh

atjehcyber stick

#TAGatjehcyber Home /

“Kampanye Politik” ala Panglima Tibang

Wednesday, February 01, 2012 17:03 WIB

Dibaca:   kali

atjehcyber, atjeh cyber, atjeh news, atjeh media, atjeh online, atjeh warrior, acehcyber, aceh cyber, aceh warrior, aceh cyber online, atjeh cyber warrior
Panglima Tibang

“ORANG yang sering mencurigai, patut dicurigai.” Kata-kata bijak ini patut kita renungkan, terutama menjelang musim pilkada seperti yang sedang kita alami. Sebab, kredibilitas yang rapuh kerap menjebak kita, cenderung menuding, menuduh; bukan untuk saling mempercayai, menasehati.

Gampang mencurigai saudara, partai lain, mazhab lain, dari sisi psikologi adalah suatu kepribadian yang retak dan patut dikasihani. Kita sering terjebak dalam dilematis ini: mencurigai duluan, atau akan dicurigai nanti. Terlebih lagi andai pilkada ditunda, gugat-menggugat terus dilayangkan ke MK dan KIP, Pj bupati yang sedang menjabat dicurigai, kandidat Pj bupati yang akan diusul dan calon Pj gubernur yang akan ditunjuk, juga misterius tampangnya.

Dalam ‘jebakan’ ini, satu sisi dari sosok Panglima Tibang atau ‘panglima tibang’ lain misalnya, menarik untuk kita simak. Baik yang ikut kampanye, atau lewat diplomasi lainnya. Tentu ini tidak untuk kita hujat, namun untuk saling mengaca diri.

Sejarah lama

Pada era pemerintahan Sultan Mahmudsyah (1870-1874), ada dua tokoh penting yang ingin berebut pengaruh di lingkungan istana Kerajaan Aceh itu. Mereka adalah Habib Abdurrahman Az Zahir dan Teungku Panglima Tibang, salah satu ‘oventurir’ politik di masa Sultan Aceh. Dan satu sosok penting lainnya yang aktif di Singapura, ada Muhammad Arifin.

Misi Habib Abdurrahman (1832-1896) bermula sejak meninggalkan Aceh pada Januari 1873. Dia berlayar ke Turki, Mesir, dan Eropa. Usai berdiplomasi, berkampanye, demi Aceh di sana, ia balik ke Penang selama satu tahun (Maret 1874). Dua tahun di Penang, putra Hadramaut ini, bergabung dengan Dewan Delapan pada Maret 1876.

Dewan Delapan beranggotakan Teuku Ibrahim (kemenakan Teuku Pakeh Dalam Pidie), Syekh Ahmad, Panglima Prang Haji Yusuf, Gullahmeidin, Umar (dari India), Syekh Kassim (dari Arab), dan Nyak Abbas (kemenakan Teuku Paya), juga anggota misi Habib. Teuku Paya sendiri mengetuai dewan yang mempertahankan kemerdekaan Aceh tersebut. Tercatat hasil dari Dewan Delapan, antara lain pada 1872, ke Aceh dikirim 1.394 peti senapan dan 5.000 peti peluru.

Setelah dua tahun di Aceh, Habib Abdurrahman menyerah pada Belanda dan tinggal di Mekkah dengan dana pensiun dari pemerintah Belanda, 1.000 dolar per bulan. Melihat kepribadiannya, Habib Abdurrahman memang tidak layak untuk dicurigai. Ia pernah belajar di Mesir dan Kalikut. Diplomat ini telah melalangbuana ke Timur Tengah, Turki, Italia, Perancis, Jerman, India, Singapura. Terakhir dia mendarat di Aceh pada 1864.

Lain dengan Habib Abdurrahman, Panglima Tibang mulai September 1872 menyeberang ke Singapura. Semula rencananya ke Riau untuk perjuangan Aceh, karena terpengaruh dengan anjuran diplomat Belanda --Hendrik Chris Toffel van Akkere, ia memilih singgah di negara singa itu.

Pengkhianatan

Walaupun nanti dia juga ke Riau, namun bujukan untuk ikut kubu Balanda mulai terasa. Peran residen Schiff di Riau, sangat besar dalam ‘pengkhianatan’ Panglima Tibang. Schiff mohon pada Panglima agar mau membujuk Sultan Mansur Syah, supaya mereka dapat diterima mendarat dan menetap di Koetaradja.

Sebagai penghormatan atas posisi Panglima Tibang, dia diantar ke Kapal Belanda, dan singgah di Singapura. Di sinilah perjumpaannya dengan Muhammad Arifin --staf pembantu WHM Read, konsul Belanda di Singapura-- bermula. Panglima Tibang tiba kembali di Koetaradja pada November 1872.

Panglima Tibang
Setelah mendengar hasil negosiasi Panglima Tibang dan Schiff, Sultan Aceh menolak kehadiran residen Schiff ke Koetaradja. Dengan modal besar juga, Panglima Tibang balik ke Riau pada 13 Desember 1872. Lalu Januari 1873 diantar ke Aceh oleh kapal Marnix via Singapura. Dia mengadakan hubungan dengan konsul Italia dan Amerika, juga untuk kepentingan Aceh.

Anehnya diplomasi mereka disiasati dan dimata-matai oleh Muhammad Arifin. Panglima Tibang tidak melarang keikutsertaan Arifin. Ia pura-pura tidak tahu ada mata-mata Belanda saat itu. Inilah resiko yang mengharuskan Aceh melawan Belanda secara terbuka di pesisir. Dari hasil negosiasi tersebut, Mayor Studen --Konsul Amerika di Singapura-- akan memberangkatkan dua kapal perang ke selat.

Namun, Muhammad Arifin duluan membocorkan ke konsul Belanda di Singapura. Read (atasan Arifin di Singapura) mengontak Batavia. Dari Batavia, di bawah Gubernur Jenderal James Loudon, nasehat ke Den Haag diminta. Dan Ratu Belanda mengirim kawat dan mengizinkan pasukan segera menyerang Aceh. Maka pada 18 Februari 1873, atas arahan dari James Loudon perairan Aceh dikepung. Perang Aceh pun meletus.

Inilah yang sering disebut pengkhianatan Panglima Tibang dalam sejarah hitam Aceh, kampanye ala panglima. Kalau Habib Abdurrahman menyerah pada 1878, Panglima Tibang mengakhiri segala-galanya untuk Aceh pada 1873. Melihat ketaatannya pada sultan, Panglima Tibang juga tidak patut dicurigai secara berlebihan.

Tuduhan sejarah

Ia memang berasal dari India. Semula dari penganut Hindu, bersama satu tim kesenian ia datang ke Aceh. Kultur Aceh dan India memungkinkan dia dengan mudah masuk ke Serambi Mekkah. Sultan Ibrahim Mansur Syah mengislamkannya setelah kian erat kedekatannya dengan istana. Bahkan dia nanti diangkat sebagai syahbandar kerajaan.

Panglima Tibang atau ‘cucunya’ memang fenomenal. Dia, atau siapa pun yang jadi korban tuduhan sejarah, bisa jadi tepat sasaran. Atau mungkin hasil dari kurang proporsionalnya suatu persepsi. Karena setiap manusia unik adanya. Dalam menggugat, mengklarifikasi, diplomasi dan kampanye di podium, usai dilantik atas tahta.

***

Oleh Muhammad Yakub Yahya, Penulis ialah Staf Kanwil Kemenag Aceh 
dan Direktur TPQ Plus Baiturraman. Rubrik Opini Serambi Indonesia Daily

KOMENTAR
DISCLAIMER: Komentar yang tampil menjadi tanggungjawab sepenuhnya pengirim, bukan merupakan pendapat atau kebijakan redaksi ATJEHCYBER. Redaksi berhak menghapuskan dan atau menutup akses bagi pengirim komentar yang dianggap tidak etis, berisi fitnah, atau diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan.
Artikel Pilihan Pembaca :

mobile=show

Copyright © 2015 ATJEHCYBER — All Rights Reserved