MAWARDI ISMAIL, dosen Fakultas Hukum
Universitas Syiah Kuala, melaporkan dari Jenewa
PERHATIAN masyarakat internasional terhadap Otonomi Khusus (Otsus) Aceh sebagai salah satu bentuk penyelesaian konflik secara damai, kini datang dari Kerajaan Maroko yang sejak tahun 2007 telah berusaha menyelesaikan konflik Sahara Barat melalui dialog damai di bawah arahan Dewan Keamanan PBB.
Untuk itu, pada 22 Maret 2012 digelar Seminar Internasional tentang “Governance in Autonomy Statutes: Institutions and Mechanism” (Pemerintahan dengan Status Otonomi: Kelembagaan dan Mekanismenya). Seminar di Palais des Nations (Gedung PBB) Jenewa, Swiss, itu menghadirkan ahli-ahli otonomi daerah dari negara-negara yang memiliki otsus, yaitu Indonesia, Puerto Rico-USA, Denmark, Barcelona-Spanyol, dan New Caledonia, dipandu oleh Profesor Bertrand Mathieu dari University of Paris, Prancis.
Satu dari lima topik yang dibahas dalam seminar yang dilaksanakan Permanent Mission of the Kingdom of Morocco to United Nations Office dan Organisasi Internasional lainnya di Jenewa ini adalah “Helsinki MoU and The Law on The Governing of Aceh, Comparative Analysis with The Sahara Autonomy Initiative”. Topik ini saya ajukan kepada panitia pelaksana ketika saya mendapat undangan dari Ambassador and Permanent Representative Morocco to United Nations Jenewa, menjadi pembicara pada seminar ini.
Topik lain yang dibahas adalah “The Experience of the Autonomy of Catalonia for the Autonomy of the Sahara Region” oleh Eliseo Aja, Professor of Constitutional Law University of Barcelona Spanyol, “Development of the Greenland Home Rule Model and its Relevance to an Autonomy Statute for Sahara Region” oleh Dr Lisa Lyck dari Copenhagen Business School, “The Maroccan Initiative for Western Sahara Seen through the Prism of the Autonomy Status of New Caledonia” oleh Dr Carina David dari University of New Caledonia, dan “Puerto Rico’s Political Status: Main Features and Some Comparisons with the Moroccan Initiative” oleh Efren Rivera Ramos, Professor of Law University of Puerto Rico.
Ketertarikan peserta seminar terhadap topik ini karena penyelesaian konflik Aceh secara damai telah dua kali terjadi, yaitu melalui Ikrar Lamteh tahun 1957 dan MoU Helsinki tahun 2005.
Keberhasilan implementasi MoU Helsinki dibandingkan dengan Ikrar Lamteh, paling kurang karena dua hal. Yaitu, adanya mediasi pihak ketiga (CMI Finlandia) dan adanya keharusan pembentukan instrumen yuridis (UUPA) untuk menampung sebagian isi MoU yang untuk pelaksanaannya memerlukan perubahan hukum nasional Indonesia.
Inisiatif Otonomi Sahara Barat diajukan oleh Kerajaan Maroko sebagai tanggapan atas seruan Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi Nomor 1570 tanggal 28 Oktober 2004, untuk menyelesaikan konflik yang telah berlangsung 30 tahun itu.
Untuk menampung hasil yang dicapai dari perundingan yang kini sedang berlangsung di bawah arahan PBB, dalam Inisiatif Maroko disebutkan akan adanya amandemen Konstitusi Moroko.
Ini diperlukan karena konstitusi dari negara yang beribu kota Rabat dan bermata uang dirham itu belum menyediakan ruang bagi otonomi, berbeda halnya dengan UUD RI 1945 yang melalui Pasal 18A dan 18B dapat menampung keberadaan otsus, seperti yang berlaku untuk Aceh dan Papua.
Hal lain yang berbeda dengan penyelesaian konflik Aceh adalah bahwa penyelesaian konflik Maroko menjadi masalah internasional dan melibatkan PBB, sementara penyelesaian konflik Aceh masih merupakan masalah internal Indonesia. [Serambinews]
***
|
JOIN