TRENDING TOPIC #PARIS ATTACK #USA vs RUSSIA #MOST VIDEO
Follow

atjehcyber thumbkanan

rental mobil di aceh, rental mobil aceh, jasa rental mobil aceh, sewa mobil di aceh, rental mobil banda aceh, sewa mobil di banda aceh

atjehcyber stick

Bencana Turki, Duka “Saudara Tua” Aceh

Saturday, November 12, 2011 18:56 WIB

Dibaca:   kali

atjehcyber, atjeh cyber, atjeh news, atjeh media, atjeh online, atjeh warrior, acehcyber, aceh cyber, aceh warrior, aceh cyber online, atjeh cyber warrior

Gempa yang mengguncang Turki dengan kekuatan 7,2 skala richter Minggu (23/10), telah menelan korban jiwa mencapai lebih kurang 523 jiwa.

Oleh Boy Nashruddin Agus (*

Gempa yang berpusat di Provinsi Van ini juga telah mengakibatkan 1.650 jiwa luka-luka dan 600 ribu korban traumatis akibat efek gempa serta dua ribu bangunan hancur seperti yang dilansir oleh Radio New Zealand (27/10), Kamis lalu.

Letak negara Turki tak jauh berbeda dengan Aceh, Indonesia yang sama-sama terletak di Ring of Fire ini pernah menjadi salah satu negara penyelamat Aceh ketika didera oleh bencana tsunami, 26 Desember 2004 silam. Saat itu, negara Turki ikut bahu membahu bersama negara-negara internasional membangun kembali Aceh dengan memberikan bantuan hibah berupa rumah-rumah permanen pada korban bencana.

Bantuan rumah tersebut, menurut para korban bencana tsunami Aceh adalah yang terbaik diantara rumah-rumah bantuan lainnya yang pernah diberikan negara donor. Bantuan rumah tersebut, juga dapat kita lihat sekarang berdiri dengan gagahnya di perkampungan Turki yang terletak di Lampu’uk-Aceh Besar dan Bitai-Banda Aceh.

Bantuan yang diberikan negara Turki tersebut, patutlah mendapat apresiasi dan rasa terima kasih mendalam dari kita, selaku orang-orang Aceh. Dan sudah sepatutnya, hari ini ketika Turki dilanda oleh bencana gempa alam yang telah meluluhlantakkan “saudara tua” Aceh tersebut dengan ikut menyumbangkan sedikit harta benda dan tenaga kita pada mereka, layaknya mereka (Turki) membantu Aceh tempo hari.

“Saudara Tua” Aceh

Saya terus menerus menyebut Turki sebagai negara tua Aceh karena dikaji dari sejarah kita masa lalu, Kerajaan Turki merupakan salah satu kerajaan kekhalifahan terbesar yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Aceh. Bahkan, tidak tanggung-tanggung pada masa itu Aceh sendiri yang merupakan negara bawah angin, berada di bawah lindungan Imperium Ottoman (Turki).


Hubungan Turki dan Aceh dimulai ketika banyak bangsa asing yang berdatangan ke Nusantara untuk berdagang rempah-rempah. Persaingan-persaingan para pedagang asing ini, dikemudian hari memicu konflik dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, termasuk dengan kerajaan Aceh.

Ketika hubungan dengan pedagang-pedagang asing mulai memburuk, tepatnya pada tahun 1563 M, Sultan Aceh mengirim utusan ke Kerajaan Turki, dalam rangka memperoleh bantuan dari kerajaan Islam terbesar pada masa itu. Utusan tersebut membawa serta hadiah-hadiah berharga dari Sultan Aceh untuk dipersembahkan kepada penguasa Turki. Hadiah-hadiah itu antara lain berupa emas, rempah-rempah dan lada.

Ada kisah menarik mengenai pemberian hadiah ini yang dikisahkan dalam sejarah Aceh. Saat perutusan Aceh dikirim ke negeri Rum (Turki), rombongan tersebut membawa muatan lada yang penuh dalam kapal. Namun, dalam perjalanannya ke Turki yang membutuhkan waktu lama dan menghadapi banyak sekali rintangan selama menempuh perjalanan laut, muatan lada yang ada di kapal para utusan Aceh ini mengalami penyusutan dan hanya tersisa setengah liter saja (sicupak) begitu sampai di Turki dan dipersembahkan pada Sultan Rum tersebut.

Akan tetapi, meskipun lada yang hanya tinggal sicupak tersebut dibawa menghadap ke depan penguasa Turki, kerajaan Islam terbesar ini tidak mempersoalkannya dan dibalas oleh Imperium Turki dengan secarik surat untuk Sultan Aceh, perlengkapan serta alat-alat perang (termasuk meriam yang kemudian dinamakan dengan meriam lada sicupak).

Selain itu, Sultan Turki juga mengirimkan bantuan berupa dua kapal perang dan 500 orang tenaga berkebangsaan Turki untuk mengelola kapal-kapal tersebut. Diantara 500 orang tersebut terdapat ahli-ahli militer yang dapat membuat kapal-kapal perang, baik ukuran besar maupun ukuran kecil. Mereka juga mampu membuat meriam-meriam berukuran besar. Turki juga memberikan sejumlah meriam berat beserta perlengkapan-perlengkapan militer lainnya kepada Aceh. Semuanya itu tiba di pelabuhan Aceh dengan selamat pada tahun 1566 atau 1567 M.

Mengenai bantuan dua buah kapal dan 500 orang awak kapal serta teknisi tersebut, C.R Boxer dalam A Note On Portugese Reactions of The Revival of The Red Sea Spice Trade and The Rise of Acheh, 1540-1600, menerangkan dalam paper nya pada acara konferensi Internasional Sejarah Asia di Kuala Lumpur yang diselenggarakan oleh Departement of History, University of Malaya, 5-10 Agustus 1968, bahwa para utusan Aceh yang berhasil sampai ke Turki itu telah mampu meyakinkan pihak kerajaan Islam terbesar tersebut mengenai keuntungan perdagangan rempah-rempah dan lada di Nusantara. Keuntungan ini, menurutnya, akan tercapai apabila orang-orang Portugis yang berada di Malaka berhasil di usir oleh pasukan Kerajaan Aceh dengan bantuan Turki.

Mengenai hal ini, jelas terlihat bahwa Turki dan Aceh mempunyai hubungan diplomatis yang kuat sejak tahun 1560-an. Hubungan diplomatis ini tidak hanya terjalin dari faktor ekonomi belaka, melainkan juga melalui faktor pertahanan dan keamanan wilayah kerajaan serta politik hubungan internasional.

Hubungan diplomatis yang terjalin antara dua kerajaan ini juga terjadi dikarenakan adanya rasa kesamaan ideologis agama, yakni Islam. Sehingga, dalam suratnya, Sultan Turki mengatakan bahwasanya sejak saat itu Aceh selaku negara bawah angin yang berada di selat Malaka, merupakan negara lindungan Imperium Turki di bawah pemerintahan kekhalifahan. Artinya, siapapun yang mengganggu kedaulatan Aceh, berarti akan berhadapan dengan pemerintahan kekhalifahan Turki.

Generasi selanjutnya, saat Nusantara didatangi pedagang-pedagang Belanda, Aceh turut mengalami konflik politik dengan para Hollandia ini. Sultan Ibrahim Mansyur yang memerintah Aceh pada saat itu merasakan perlu mengikat hubungan diplomasi dengan negara-negara asing menghadapi serangan Belanda dan Inggris tersebut. Untuk itu, kerajaan Aceh mempertimbangkan kembali hubungan yang telah lama terjalin dengan Turki sejak abad 16, untuk lebih diperkuat meskipun kedudukan negara tersebut sudah tidak dapat diharapkan karena kedudukan Turki pada abad 19 tidak lagi dipandang sebagai negara kuat yang disegani, terutama di Eropa.

Pun begitu, Sultan Ibrahim Mansyur menganggap hubungan diplomatis layak dipererat kembali menimbang kedua negara ini memiliki persamaan asas, yaitu sebagai negara Islam.

Pada tahun 1850, Sultan Ibrahim Mansyur Syah mengirim Sidi Muhammad sebagai utusannya ke Turki. Melalui sepucuk surat, Sultan meminta agar Turki bersedia melindungi Aceh dari rongrongan Inggris dan Belanda. Sebagai hasilnya, Sultan Abdul Madjid dari Turki mengeluarkan dua pengumuman resmi kerajaan yang berisikan kesediaan Turki untuk memenuhi permintaan Sultan Ibrahim dan pengukuhannya sebagai Sultan Aceh (pada saat itu, Sultan Ibrahim Mansyur Syah adalah pemangku Sultan, 1837-1857 dan baru saja dinobatkan sebagai Sultan Aceh menggantikan sultan Ali Iskandar Syah yang memerintah Kerajaan Aceh sebelumnya). Sultan Abdul Madjid juga menginstruksikan Gubernur Yaman agar selalu memperhatikan dan mengawasi kepentingan Aceh. (Anthony Reid, op. cit, hal. 84).

Dukungan positif yang ditunjukkan Turki ini, tentu saja disambut gembira oleh Sultan Ibrahim terutama yang berkaitan dengan isi pengumuman kedua, dimana Turki memberikan dukungan politis kepada Sultan Ibrahim untuk menjadi sultan Aceh.

Sultan Ibrahim Mansyur Syah juga mendapatkan Bintang Penghargaan (Mejidie) dari Sultan Turki sebagai ungkapan balas jasa atas kepercayaan Aceh terhadap negara tersebut. Namun, mengenai bantuan senjata yang diharapkan oleh Aceh, sampai pecahnya perang Belanda di Aceh (1873) tidak pernah tiba dari Turki. Perlu diketahui, berdasarkan pemberitaan Reuters, Turki sempat mewacanakan memberangkatkan puluhan kapal perang menuju Aceh guna membantu pasukan kerajaan Aceh menghadapi Belanda. Namun, akibat informasi yang dikeluarkan oleh Reuters tersebut, Kerajaan Turki urung ikut campur akibat tekanan negara internasional dimana memang pada saat itu, kedudukan Turki sudah tidak kuat lagi.

Akibat Pengkhianatan

Hubungan Turki dan Aceh juga pernah terjalin pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah II sebagai Sultan Aceh (1870-1873) yang masih berusia 14 tahun, akibat meninggalnya Sultan Ibrahim Mansyur Syah. Pada saat itu, Aceh mengirimkan utusannya yakni Mangkubumi (menteri luar negeri) Habib Abdurrahman Az-Zahir.

Ironisnya, misi Habib guna mendapatkan bantuan dari Turki dan beberapa negara kuat lainnya seperti Mesir, Eropa dan juga Mekkah menemui kegagalan. Bahkan, Menteri Luar Negeri Habib Abdurrahman tersebut berpaling muka setelah tidak mampu membawa satu negara pun untuk membantu Aceh. Ia disebut-sebut mendapatkan gaji pensiun oleh Belanda apabila mau melupakan Aceh.

Akibatnya, Habib pun mengungsi ke Mekkah dan hidup tenang disanan setelah mendapat uang bantuan Belanda. Sementara itu, pejuang-pejuang Aceh yang kemudian hari mengetahui bahwa tidak adanya dukungan dari negara luar, tetap berperang melawan Belanda hingga tahun 1942 pada saat Jepang mengalahkan sekutu.

Jejak Hubungan Diplomatis Aceh-Turki

Kerajaan Rum berhasil takluk, Kekaisaran Romawi Timur atau Kekaisaran Bizantium (Bizantin, Byzantin, Byzantine) adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan Kekaisaran Romawi pada masa Zaman Pertengahan, berlokasi di sekitar ibukotanya di Konstantinopel atau kekaisaran kristen yang berhasil di taklukan oleh kekaisaran Islam Kalifah Turki Usmani.

Nama Kota Konstantinopel akhirnya diganti menjadi Istambul pasca kemenangan pasukan Islam atas pasukan Kristen di benua Eropa. Semula para ulama Turki bertujuan untuk mengajarkan agama Islam di Aceh dan pasantren, Perkembangan Islam di Bitai selanjutnya sangat maju karena banyak orang luar Aceh yang belajar untuk memperdalam agama Islam.

Bagi yang belajar di Aceh mengembangkan lagi di negaranya masing-masing. Maka semakin majulah perkembangan Islam masa itu. Raja-raja yang menganut agama Budha di Aceh akhirnya masuk Islam karena tidak diperbolehkan kepala Negara Budha pada saat itu.

Disamping mengembangkan agama Islam, para kepala Negara itu juga mengadakan kerja sama pada bidang ekonomi dan perdagangan serta menjalin hubungan yang baik pada masalah ketahanan Negara. Turki Membantu Aceh memberikan perlengkapan perang. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Salahuddin yaitu Sultan Aceh kedua yang mangkat pada tahun 1548 M, Beliau hanya memerintah 28 tahun tiga bulan.

Masa pemerintahannya mempunyai agenda meningkatkan pendidikan dan hubungan kerja sama dengan Negara-negara lain seperti Turki, tanah melayu, Pakistan dan Arab Saudi. Raja dan keluarganya dari Turki dan masyarakat yang berada di negeri Kedah/melayu kini Malaysia umumnya beragama Islam dan akhirnya orang Turki tersebut pindah dan menikah dengan orang Aceh yang tinggal di Bitai.

Pada saat wafatnya Raja/Sultan Salahuddin, orang Turki yang merupakan sahabatnya, memberikan wasiat bahwa pada saat meninggal dunia mereka minta dimakamkan saling berdekatan yaitu di Komplek Situs Makan Tuanku Di Bitai, Banda Aceh. Jumlah makam kuno di sekeliling makam Sultan Salahuddin secara keseluruhan lebih kurang 25 makam makam dari batu cadas berjumlah 7 makam serta makam dari batu sungai berjumlah 18 makam.

Secara keseluruhan batu nisannya berbentuk segi delapan dan hiasannya bertuliskan kaligrafi dengan bahasa arab. Segi delapan mewujudkan delapan sahabat dari Aceh, Turki dan Saudi Arabia. Pada bagian bawah nisan terdapat pola luas tumpal, puncak nisan cembung diatasnya terdapat lingkaran sisi delapan.

Orang Turki tersebut yang pertama kali datang di Bitai, Banda Aceh itu bernama Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi atau lebih terkenal dengan nama Tengku Syieh Tuan Di Bitai. Nama Bitai diambil untuk mengenang asal orang Turki tersebut dari Palestina atau Bayt Al-Maqdis nama lain dari Yerussalem tempat Masjid Al-Aqsa berada yang kini di duduki oleh zionis Israel.

Keturunan Tengku Di Bitai juga di makamkan di sekeliling makam Sultan Salahuddin dalam situs tanah wakaf dan terdapat mesjid kuno yang terbuat dari kayu dan sebagian di semen dindingnya. Pasca Tsunami masjid kuno tersebut mengalami kerusakan parah dan di bangun suatu masjid baru dengan motif ornamen Timur Tengah bergaya negara Turki dan ada juga sebuah museum tentang sejarah kedatangan Turki di Bitai Banda Aceh.

Komplek Makam Tengku Di Bitai dan Sultan Salahuddin ini sendiri terletak di tengah perkampungan desa Bitai dengan luas area 500 meter persegi. Desa Bitai berbarengan dengan emperoom yang sekarang dijadikan satu kawasan perkampungan Turki. Emperoom berasal dari kata emparium atau kerajaan/kekaisaran dahulunya, yang terkenal dengan emparium Romawi.

Anak laki-laki pertama dari keturunan Tengku Di Bitai ada 9 orang yang dimakamkan dalam makam khusus berbentuk kotak persegi empat, hanya satu yang dimakamkan di luar desa Bitai yakni di Lampoh Daya yang bernama Faqih Sri Raja Faqih bin Abdullah Tamim Ghazi, tetapi masih berbatasan langsung dengan desa Bitai hanya satu kilometer dari desa Bitai.

Anak atau keturunan terakhir dari Tengku Di Bitai adalah Tengku H. Razali bin Tengku H. Muhammad Juned lebih dahulu wafad tahun1987 dibanding bapaknya Tengku H. Muhammad Juned bin Tengku H. Abdul Aziz yang wafad tahun 1990, beliau tidak dimakamkan di kotak persegi empat tersebut tetapi di depan mihrab masjid. Desa Bitai ini juga terkenal karena dahulu Sultan Iskandar Muda pernah menjadi murid Tengku Di Bitai dan bantuan-bantuan ahli-ahli persenjataan dari Turki untuk membantu kerajaan Aceh melawan penjajahan Belanda.

Saat Belanda menginjak kakinya di bumi Aceh dan membakar masjid raya Baiturrahman Banda Aceh, sniper Aceh berhasil menembak dada kiri Jenderal Johan Harmen Rudolf (JHF) Kohler hingga tewas pada tanggal 14 April 1873. Dalam catatan sejarah perang Aceh 1873-1904 serta perlawanan 1904-1942 ada 4 orang Jenderal Belanda tewas di tembak oleh sniper Aceh hasil didikan ahli-ahli persenjataan dari Turki.

Makam Teungku Di Bitai

Komplek makam kuno peninggalan Turki terletak berbarengan dengan komplek Tengku Di Bitai, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, Luas areal 500 m2. Komplek makam berada ditengah-tengah perkampungan dan disekitar makam itu terdapat mesjid kuno yang bangunannya mirip seperti bangunan Turki dengan status tanah wakaf.


Bitai adalah nama sebuah perkampungan yang ditempati para ulama Islam dari Pasai serta ulama Pidie dan Ulama itu berasal dari Negara Baitul Maqdis dan Turki. Perkembangan Islam di Bitai sangat termasyur (maju) karena banyak orang luar Aceh yang belajar untuk memperdalam agama Islam.

Bagi yang belajar di Aceh mengembangkan lagi di negaranya masing-masing. Maka semakin majulah perkembangan Islam masa itu. Raja-raja yang menganut agama Budha akhirnya masuk Islam karena tidak diperbolehkan kepala Negara Budha pada saat itu. Disamping mengembangkan agama Islam, para kepala Negara itu juga mengadakan kerja sama pada bidang ekonomi. (dagang) dan menjalin hubungan yang baik pada masalah ketahanan Negara.

Turki Membantu Aceh memberikan perlengkapan perang. Masa pemerintahan Sri Sultan Salahuddin yang mangkat pada tahun 1548 M, hanya memerintah 28 (Dua Puluh Delapan) tahun tiga bulan. Masa pemerintahannya mempunyai agenda meningkatkan pendidikan dan hubungan kerja sama dengan Negara-negara lain seperti Turki, tanah melayu, Pakistan dan Arab Saudi.

Pada saat wafatnya Raja Salahuddin, orang Turki yang merupakan sahabatnya, memberikan wasiat bahwa pada saat meninggal dunia mereka minta dimakamkan saling berdekatan yaitu di Komplek Situs Makan Tuanku Di Bitai. Jumlah makam secara keseluruhan lebih kurang 20 (dua puluh) makam diklarifikasikan, makam dari batu cadas berjumlah 7 (tujuh) makam. Makam dari batu sungai berjumlah 18 (delapan belas) makam.

Secara keseluruhan batu nisanya berbentuk segi delapan dan hiasannya bertuliskan kaligrafi dengan bahasa arab. Segi delapan mewujudkan delapan sahabat dari Aceh, Tukri dan Saudi Arabia. Pada bagian bawah nisan terdapat pola luas tumpal, puncak nisan cembung diatasnya terdapat lingkaran sisi delapan.[]

Silsilah keturunan Turki di Aceh
1. Syakir Jundi Istambul Turkiya
2. Muhammad Jamil Ghazi bin Syakir Jundi Istambul Turkiya
3. Abdul Aziz Ghazi bin Muhammad Jamil
4. Saidam Ghazi bin Abdul Aziz Ghazi
5. Sirikhu Ghazi bin Saidam Ghazi
6. Muhammad Shaleh Ghazi bin Sirikhu Ghazi
7. Ilyas Ghazi bin Muhammad Shaleh Ghazi
8. Ishak Ghazi bin Ilyas Ghazi
9. Ahmad Ghazi bin Ishak Ghazi
10. Rustam Ghazi bin Ahmad Ghazi
11. Basyah Ghazi bin Rustam Ghazi
12. Rauf Ghazi bin Basyah Ghazi
13. Mustafa Ghazi bin Rauf Ghazi
14. Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi (Teungku Syieh Tuan Di Bitai)
15. Jalal Basyar Ghazi bin Muthablib Ghazi
16. Ismail Ghazi bin Jalal Basyar Ghazi
17. Harun Ghazi bin Ismail Ghazi
18. Abdul Jalal bin Harun Ghazi
19. Abdullah Tamim Ghazi bin Abdul Jalal Ghazi
20. Faqih Sri Raja Faqih bin Abdullah Tamim Ghazi
21. Syeik Abdurrahman bin Faqih Sri Raja Faqih
22. Syeik Ismail bin Syeik Abdurrahman
23. Tengku H. Abdul Aziz bin Syeik Ismail
24. Tengku H. Muhammad Juned bin Tengku H. Abdul Aziz
25. Tengku H. Razali bin Tengku H. Muhammad Juned

***
.
BMC2TRXF47JR 
KOMENTAR
DISCLAIMER: Komentar yang tampil menjadi tanggungjawab sepenuhnya pengirim, bukan merupakan pendapat atau kebijakan redaksi ATJEHCYBER. Redaksi berhak menghapuskan dan atau menutup akses bagi pengirim komentar yang dianggap tidak etis, berisi fitnah, atau diskriminasi suku, agama, ras dan antargolongan.
Artikel Pilihan Pembaca :

mobile=show

Copyright © 2015 ATJEHCYBER — All Rights Reserved